Indonesia telah mengatur gratifikasi dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

“Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

Dalam UU tersebut di Pasal 12B menyebutkan, bahwa :

“Gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”

Jadi “Gratifikasi dan Hadiah terkadang salah diartikan sehingga memiliki makna yang berbeda namun setipis tisu “BETI”, Hadiah yang diberikan atau diterima melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka bisa dicurigai hadiah tersebut adalah gratifikasi/Suap. Berbeda jika pemberian tersebut adalah untuk keluarga ataupun saudara yang tidak ada hubungannya dengan penyelenggara negara”.

Sehingga penting untuk setiap PNS atau penyelenggara negara dapat melakukan pelayanan tanpa menerima manfaat lainnya yang diberikan. Karena menurut Professor Kebijakan Publik di University of Adelaide, Australia, Adam Graycar, dalam jurnalnya “Gift Giving and Corruption” menuliskan bahwa hadiah dan gratifikasi yang dilarang sama-sama punya tiga sifat, yaitu memicu timbal balik (resiprokal), menuntut proses pertukaran, dan saling berbalas (quid pro quo).

Mari menjadi PNS ataupun penyelenggara negara yang dapat dengan “Berani Mengatakan Tidak”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot Gacor