Di sebuah hutan lebat bernama Hutan Karang Tina, hidup berbagai macam fauna yang saling berdampingan. Mereka dipimpin oleh seekor burung hantu tua bijaksana bernama Bapak Opan. Bapak Opan dikenal karena kemampuannya membaca bintang dan mendengar bisikan angin, sehingga ia selalu tahu apa yang terbaik untuk penghuni hutan.
Suatu hari, masalah besar melanda Hutan Karang Tina. Sungai Gemericik, sumber air utama semua makhluk, tiba-tiba mengering. Tanaman mulai layu, dan binatang-binatang kesulitan mencari air. Keadaan semakin parah ketika persediaan makanan di gudang hutan hilang satu per satu.
“Ini bencana!” kata si Kancil cemas. “Tanpa air dan makanan, kita akan kelaparan.”
Bapak Opan segera mengadakan pertemuan di bawah Pohon Kejujuran, pohon raksasa yang menjadi simbol kesepakatan dan keadilan hutan. “Kita harus mencari tahu apa yang terjadi,” ucap Bapak Opan dengan suara dalam.
Si Tupai, yang gemar melompat dari dahan ke dahan, menawarkan diri untuk menyelidiki. Dalam waktu singkat, ia kembali dengan berita mengejutkan. “Aku melihat Bu Rubah mengambil makanan dari gudang dan menjualnya di luar hutan!”
Semua penghuni hutan terkejut. “Mengapa Bu Rubah melakukan itu?” tanya si Kelinci dengan mata membelalak.
Bapak Opan memanggil Bu Rubah ke Pohon Kejujuran. Dengan wajah tertunduk, Bu Rubah mengakui perbuatannya. “Aku hanya ingin memiliki sarang yang lebih besar,” katanya lirih. “Aku pikir mengambil sedikit makanan tidak akan ada yang tahu.”
Bapak Opan menggelengkan kepalanya. “Apa yang kau lakukan adalah korupsi, Bu Rubah. Korupsi bukan hanya mencuri. Ia merusak kepercayaan dan menghancurkan keseimbangan hutan ini.”
Ia melanjutkan, “Karena ulahmu, makanan yang seharusnya cukup untuk kita semua menjadi hilang. Sungai Gemericik mengering karena kau menggunakan air untuk mencuci makanan yang kau curi. Akibatnya, seluruh hutan kini menderita.”
Bu Rubah terisak. “Aku tidak menyangka dampaknya akan sebesar ini. Aku menyesal.”
Bapak Opan memberi pelajaran penting. “Menyesal saja tidak cukup. Kejujuran adalah akar dari semua kebaikan. Kita harus menumbuhkan kembali kepercayaan yang telah hilang.”
Sebagai hukuman, Bu Rubah harus bekerja siang dan malam untuk mengisi kembali gudang makanan dan membersihkan Sungai Gemericik. Selama itu, ia belajar bahwa keserakahan hanya membawa kerugian, bukan kebahagiaan.
Hutan Karang Tina akhirnya pulih. Pohon Kejujuran tumbuh lebih tinggi, seakan memberi tanda bahwa pelajaran penting telah terukir dalam hati semua makhluk. Sejak itu, penghuni hutan hidup dengan satu pegangan: Korupsi menghancurkan, tapi kejujuran membangun masa depan bersama.
Dan burung hantu tua itu tersenyum dalam diam, bangga bahwa Hutan Karang Tina kini memahami makna sejati dari keadilan dan tanggung jawab.